Ketahuilah bahwa dasar dimana seseorang mesti waqf (berhenti) ibtidâ (memulai bacaan) bukan berasal dari riwâyah seperti halnya sakt (saktah, berhenti sejenak tanpa bernafas), juga bukan berasal dari dalil qath’iy, baik ayat-ayat Al-Qurân ataupun As-Sunnah, melainkan buah dari ijtihad para ulama, berdasarkan pemahaman mereka terhadap bahasa Arab dan tafsir ayat-ayat Al-Qurân itu sendiri. Sehingga setiap ulama atau lembaga atau percetakan resmi memiliki hasil ijtihad yang berbeda-beda, sesuai dengan ulama yang menjadi rujukannya masing-masing.
Sebagian ulama bisa jadi menilai pada kata tertentu lebih utama berhenti, namun ternyata ulama yang lain menilai justru lebih utama melanjutkan bacaan. Sebagian ulama menilai pada satu kata tertentu terlarang untuk berhenti, sedangkan sebagian ulama yang lain menilai boleh-boleh saja.
Karenanya Al-Imâm Ibn Al-Jazariy mengatakan dalam Muqaddimah-nya:
وليس في القرآن من وقف وجب ## ولا حرام غير ما له سبب
“Tidak ada di dalam Al-Qurân, tempat berhenti yang wajib, juga tidak ada di dalam Al-Qurân tempat berhenti yang haram, kecuali ada sebabnya, yakni makna yang terkandung di dalamnya.”
Artinya, selama tidak menimbulkan kekacauan maknanya, maka boleh-boleh saja kita berhenti pada kata tertentu atau memulai dari kata tertentu.
Asy-Syaikh Ayman Suwayd mengatakan bahwa kita boleh berhenti di manapun selama tidak menimbulkan kerusakan makna, yang terpenting adalah kita bisa mencari kalimat terbaik untuk memulai kembali. Namun, beliau mengatakan bahwa:
👉🏻 Berhenti (waqf) pada setiap akhir ayat adalah sunnah secara mutlak, tanpa melihat maknanya. Kita pun dianjurkan untuk langsung memulai kembali dari ayat berikutnya, tidak perlu mengulang kalimat sebelumnya.
Al-Imâm Ibn Al-Jazariy mengisyaratkan kaidah ini dalam Muqaddimah-nya:
فالتام فالكافي ولفظا فامنعن ## إلا رؤوس الآي جوز فالحسن
“Tidak boleh memulai langsung pada kata berikutnya apabila masih memiliki keterkaitan lafaz dan makna dengan kata sebelumnya, kecuali apabila berhenti pada setiap akhir ayat, karena berhenti pada setiap akhir ayat adalah Hasan. Kita pun boleh langsung memulai dari ayat berikutnya.”
Sejatinya, bagi orang yang telah memahi bahasa Arab dan tafsir, maka patokan waqf dan ibtidâ bukanlah tanda baca yang tercantum pada mushaf, melainkan pemahaman terhadap makna kandungan ayat yang dibacanya. Seseorang yang telah menguasai bahasa Arab dan tafsir pasti akan mengetahui kapan dan di mana ia boleh berhenti serta kapan dan di mana ia mesti memulai, terlepas ada atau tidak ada tanda baca padanya.
Adapun bagi orang-orang yang belum memahami tafsir, bahkan belum memahami bahasa Arab, maka hendaknya ia mengiktui tanda baca pada mushaf yang sedang digunakan. Karena hal tersebut akan lebih memudahkannya. Tidak perlu terlalu dibingungkan dengan adanya perbedaan letak tanda baca antara satu mushaf dengan mushaf yang lain, karena sebagaimana disampaikan di awal, bahwa masalah ini adalah persoalan ijtihâdiyyah.
Apabila ia merasa bahwa tanda-tanda waqf terlalu jauh, maka ia bisa juga mengikuti bacaan para qâri yang dinilai memiliki kapasitas dalam ilmu waqf dan ibtidâ. Ia bisa mendengarkan rekaman para qâri yang banyak melakukan waqf, dan ia boleh mengikutinya. Tentu saja dengan memperkirakan bahwa qâri tersebut memahami persoalan waqf dan ibtidâ, atau setidaknya memahami bahasa Arab, sehingga kita menilai bahwa beliau memahami susunan kalimat ayat-ayat yang dibacanya. Wallâhu a’lam.
Tinggalkan Balasan